Januari 30, 2011

Budaya vs Keuangan

Pada suatu hari Saya. berkesempatan ngobrol dengan seorang sahabat prihal keuangan pribadi dan Rumahtangga yang mengatakan kebutuhan hidup seolah tidak ada habisnya untuk dipenuhi, ditambah tidak adanya sisa dana yang bisa dialokasikan sebagai tabungan ataupun investasi. Lalu iseng-iseng kami berhitung dengan perumpamaan menggunakan gaji UMR Rp. 1.500.000, punya 2 anak dan 1 istri. Kami kaitkan dengan budaya yang dibangun. Bulan 1, merayakan tahun baru menghabiskan separo gaji, Bulan ke-2 anak pertama Ulang tahun "Pa...Ulang tahun ku kan Setahun sekali dirayakan yg meriah ya Pa? Ya lah" kata Papanyan anggaranya 500.000 ya, 500.000 untuk Ultha dan 1.000.000 untuk biaya hidup. Bulan ke-3, anak kedua yg Ultha dengan anggaran yg sama, Bulan ke-4 Mamanya, Bulan ke-5 Papanya. Berarti sampai dengan bulan ke-5 belum bisa menabung, Bulan ke-6 Liburan Sekolah, Bulan ke-8 masuk sekolah beli peralatan sekolah, seragam baru, Bulan ke-9 bulan puasa, Bulan ke-10 lebaran, bulan 11 bayar kontrakan, Bulan ke-12 Liburan natal dan akhir tahun. Lalu bulan apa atau bulan keberapa bisa menabung? Padahal pada prakteknya biaya-biaya diatas pasti ada yang kurang. Diperparah lagi jika kita memiliki sifat konsumtif

Banyak orang tidak menyadari hal ini, mereka hanya mengeluh gak bisa nabung, mereka tidak menyadari sedang berada pada lingkaran masalah yang sama dan hanya berbeda definisi. Apakah anda sedang berada pada masalah ini? Apa rencana anda setelah mengetahui hal tersebut?. Apakah akan meningkatkan penghasilan? Atau menekan pengeluaran? Kalau saran saya, lakukan apa yang bisa Anda lakukan sekarang, sebelum mencapai hal ideal yang Anda inginkan.

Salam
Made Sumiarta, SE


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT