Januari 21, 2010

Pasrah atau Manja

Terkadang kita salah membedakan antara pasrah dan percaya pada kuasa Tuhan dengan manja, malas dan tidak mau belajar. Untuk lebih mudah memahami mari kita buat satu ilustrasi yang sederhana, kita ibaratkan Dunia ini adalah meja makan yang telah tersedia berbagai hidangan lengkap dengan catatan bahan-bahannya beserta kandungannya, dimeja makan juga sudah dilengkapi dengan manual yang didalamnya berisi petunjuk, mana saja makanan dan minuman yang berbahaya untuk dimakan, mana makanan dan minuman yang baik untuk dimakan, mana makanan yang yang menyehatkan, mana makanan yang membuat kita bisa sakit, bagaimana cara makannya, alat apa yang digunakan untuk memindahkan makanan tersebut ke mangkok atau piring, alat apa saja yang digunakan untuk menyantapnya, bagaimana cara makannya, bumbunya apa saja, bagaimana etika makan bersama, dan lain sebagainya, begitu lengkap sehingga tidak ada kesalahan jika kita membaca terlebih dahulu manual tersebut, yang terjadi paling kekakuan/kikuk karena belum terlatih. Ketika kita telah duduk dikursi meja makan, Sang Pemilik Hidangan telah mempersilahkan untuk menikmati dengan terlebih dahulu Sang Pemilik hidangan mengharuskan kita untuk mempelajari manual dan catatan-catatan yang ada di meja makan tersebut agar tidak terjadi kesalahan yang akan merugikan kita sebagai penikmat.

Jika kita kita sederhanakan kehidupan kita dan dunia ini serta Tuhan, maka Meja makan adalah Dunia, penikmat adalah Kita dan pemilik hidangan adalah Tuhan. Tuhan telah menyiapak Meja makannya (dunia ini), menyediakan Hidangan yang sangat lengkap (alam beserta isinya), menyediakan manual (Agama, kita suci, dan tuntunan kehidupan lainnya).

Namun sering sekali kita sebagai manusia (penikmat) tidak mengindahkan apa yang diwajibkan oleh pemilik Hidangan (Tuhan) sebelum kita menikmati hidangan, kita langsung main sikat, makanan yang mengandung racun, makanan bervitamin sikat semua, bahkan yang seharusnya kita menggunakan alat tertentu pun kita tidak indahkan, yang seharusnya menggunakan alas agar tidak merusak meja tidak dilakukan sehingga meja menjadi rusak dan belepotan, lalu siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut?

Disisi lain ada yang begitu pemalu, hanya duduk pasif, tidak membaca panduan (belajar), tidak juga mengambil hidangan (tindakan), hanya menunggu sementara yang lain telah mulai membaca panduan (belajar), mulai menikmati hidangan (action), walau beberapa dari mereka melakukan kesalahan dan sang pasif ini mentertawakannya, namun dengan kegigihannya mereka akhirnya bisa menikmati berbagai hidangan sementara sang pasif ini hanya terus berdiam diri, mungkin dalam hati dia berharap sang pemilik hidangan (Tuhan) mengambilkannya dan menyuapinya, ya ampun..... Hidangan yang sudah tersedia, tinggal menikmati masih berharap disuapi?

Dalam kehidupan kita sering sekali melihat ada orang-orang seperti ini, bahkan mungkin saja kita kadang kala termasuk didalamnya. Dunia ini sudah diciptakan dengan begitu lengkapnya, semua kebutuhan untuk kita hidup telah disediakannya, kita tinggal belajar bagaimana cara menikmatinya, bagaimana mengali, dan mengambil tindakan, mengerakan tangan, kaki, badan dan pikiran kita, Apakah kita berharap Tuhan juga melakukan semuanya? Apakah kita berharap hal tersebut atas nama "Pasrah, Nrimo, Iklas,dsb", Apakah pengertian Pasrah, Nrimo, Iklas itu hanya berharap tanpa berbuat? Atau bahkan hidup tanpa harapan sama sekali dan hanya menunggu apa yang terjadi?

Kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri, Kredibilitas kita adalah hasil dari penilian terhadap diri kita sendiri, bukan karena orang lain, bukan karena suami, istri, anak, orang tua, teman, tetangga, dll. Pernah dengar penilaian orang seperti ini :
"Istrinya baik sekali, tapi sayang suaminya berangasan". "Suaminya Pintar cari uang, tapi sayang istrinya boros", "anaknya rajin sholat, orang tuanya malah suka mabuk", "orang tuanya alim sekali tapi anaknya ugal-ugalan", " dia sih baik tapi temannya itu lho nyebelin", "kasian bapak yang baik itu, tinggal bersama tetangganya yang cerewet-cerewet". Saya yakin sekali kita pernah mendengar pernyataan-pernyataan seperti itu. Itu menunjukan bahwa betapapun kita punya orang tua yang baik, punya istri yang pintar, punya saudara yang pengertian, namun penilaian terhadap diri kita tetap karena perbuatan kita, tetap menjadi tanggung jawab kita sendiri, jadi jangan tunggu orang berbuat baik dulu baru kita berbuat baik,dst. Dimata Tuhan pun kita dinilai karena diri kita, amal baik atau dosa kita dihitung dari perbuatan kita bukan karena perbuatan orang lain, karena Tuhan tidak pernah salah posting (istilah akuntansi).

Maka, mari kita lakukan yang terbaik karena kita dan untuk diri kita sendiri, jangan pernah melakukan sesuatu karena orang lain karena akan timbul PAMRIH (tidak iklas), karena apapun yang kita lakukan semua dalam rangka memperbanyak rekening debet kita (rekening positif) baik untuk kepentingan horizontal maupun vertikal.

Semoga dapat menginsfirasi
Salam,
Made Sumiarta